Maafkan Aku Ibu, Aku Memilih Menjadi Muslim
Maafkan Aku Ibu,
Aku Memilih Menjadi Muslim
Tatkala jiwa berada dalam kehampaan, hidayah Allah menghampirinya. Allah bukakan hatinya ketika ia membuka Al Qur’an yang biasa dibaca oleh istrinya.
Oleh TIM SCW RADIO HSI
Ahad, 20 September 2020
Narasumber: Bernardus Adityo cahyo Nugroho (Mualaf & Pengurus HSI)
Bernardus Adityo Cahyo Nugroho, biasa disapa Mas Tyo, merupakan seorang Muallaf yang aktif menjadi Musyrif HSI AbdullahRoy dan fundriser HSIP. Lahir sebagai anak ke tiga dari tiga bersaudara, dari seorang ibu yang berasal dari keluarga Katolik dan seorang bapak rahimahullah dari keluarga muslim yang sempat berpindah ke Katolik, sejak usia dini ia telah kental diperkenalkan dan diajarkan pada agama Katolik. Sejak TK hingga SD bersekolah di sekolah yang bernaung di bawah sebuah yayasan Katolik, memperkuat agama dan ketaatan Katoliknya kala itu.
Mulai sejak SMP, Mas Tyo dan kakak-kakaknya diperbolehkan untuk bersekolah di sekolah negeri atau umum di mana mayoritas murid dan teman-teman sekolahnya beragama Islam. Pada lingkungan yang lebih beragam tersebut, Mas Tyo selalu menutup diri terhadap ajaran dan pandangan agama lain selain Katolik, karena telah ditanamkan di dalam keluarganya untuk tidak membuka perbincangan yang menimbulkan perdebatan, terutama mengenai agama dengan penganut agama lain. Namun di balik ketaatannya itu, muncul sebuah pertanyaan yang fundamental bagi seseorang yang beragama.
Pertanyaan yang mengganggu hati dan diragukan oleh logikanya, yakni mengenai Konsep Keesaan atau Konsep Trinitas dalam Katolik.
Konsep Trinitas yang diajarkan saat ia masih kanak-kanak, bisa dipermisalkan sebagai berikut:
‘Tyo di rumah sebagai anak bapak & ibu, Tyo di sekolah sebagai pelajar, Tyo di gereja sebagai umat. Tyo nya hanya satu namun dengan tiga peran’
Hingga ketika ia beranjak dewasa, ia pun masih menyimpan pertanyaan tersebut. Ia pun memberanikan diri untuk bertanya pada Pastor. Jawaban yang ia dapat setelah berbincang lebih lanjut dengan orang tua & pastor, pemahaman Konsep Trinitas tersebut dianalogikan sebagai: ‘diri kita sebagai manusia dibagi menjadi tiga jiwa, raga, dan sukma. Satu orang dengan tiga bagian.‘
Hingga tiba suatu sore seusai istrinya melaksanakan sholat Ashar, ia mencoba membuka Al-Quran terjemah milik istrinya untuk mencari tentang konsep keesaan dalam Islam.
Mendapatkan jawaban seperti itu tidak serta merta menghilangkan pertanyaan dalam hati Mas Tyo, karena menurutnya dengan logika yang ia miliki jika Tyo sebagai anaknya orang tua, dalam satu waktu tidak mungkin melakukan kegiatan sebagai pelajar juga karena tidak mungkin bagi seseorang di saat ia berada di rumah juga bisa berada di sekolah dalam waktu yang bersamaan. Ketika ia sedang di sekolah tidak mungkin pula dalam waktu bersamaan ia berada di gereja, karena raganya sedang berada di sekolah.
Konsep Trinitas, yang bagi Mas Tyo tidak pernah terjawab dalam kitab Injil yang saat ini diyakini oleh umat Nasrani, di mana dalam Kitab Injil tersebut dinyatakan bahwa Nabi Isa datang sepenuhnya sebagai manusia, bahkan disebutkan “serupa” dengan kita, manusia biasa. Karena dikatakan “serupa” sehingga ia juga merasakan sedih, marah, dan berbagai hal yang dialami oleh manusia biasa, menurutnya hal ini di luar logika ketika seseorang bertindak sebagai manusia kemudian harus memikirkan dunia dan seisinya, memikirkan takdir, kematian, kelahiran, rezeki seseorang merupakan hal yang tidak mungkin.
Pada akhirnya jawaban yang ia dapat dari pastor pun berakhir dengan kalimat “iman itu untuk diimani bukan untuk dipertentangkan” sama seperti akhir jawaban yang ia dapat dari ibunya sejak ia masih kecil.
Pertanyaan tersebut mengganggu sekali baginya bahkan hingga ia menikah. Meskipun selalu menyimpan pertanyaan tersebut dalam hatinya, ia yang sejak usia dini telah terdidik agama Katolik dengan kuat, tidak serta merta menyurutkan ketaatannya dalam beribadah. Ia tetap kuat dalam menjalankan agama Katoliknya.
Saat telah dewasa, Mas Tyo menikah dengan seorang wanita muslim dan berasal dari keluarga muslim. Berawal menikah dengan perbedaan agama, pernikahannya hanya dilangsungkan di gereja sesuai dengan syarat perizinan dari orang tua Mas Tyo yang akhirnya disetujui oleh keluarga sang istri. Meskipun begitu, pada masa awal pernikahan orang tua Mas Tyo tidak serta merta dengan mudah menerima istri pilihannya. Selain memberikan persyaratan untuk menikah hanya di gereja dan tidak di KUA, orang tua Mas Tyo juga meminta agar setiap anak Mas Tyo kelak semuanya harus dibaptis dan diajarkan agama Katolik seperti apa yang telah diajarkan kepadanya sejak ia kecil.
Sejak awal muncul pertanyaan mengenai konsep trinitas tersebut, ia tidak pernah berusaha untuk membandingkannya dengan agama lain, ia hanya ingin menemukan jawaban dan pemahaman yang tepat dan sesuai dengan hati dan logikanya.
Mas Tyo pun pernah memiliki pandangan pada umat Islam seperti orang-orang di luar umat Islam pada umumnya, terutama saat ada isu-isu agama yang qadarullah mencoreng nama baik umat Islam. Dia memang cenderung menutup diri dari ajaran agama lain selain yang telah diajarkan dalam keluarganya sejak ia kecil. Pada masa awal pernikahan pun Mas Tyo juga berusaha untuk memengaruhi istrinya agar tertarik untuk menganut agama Katolik. Bahkan pada awalnya ia pun merasa risih melihat istri yang tetap menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslimah.
Sejak ia memiliki anak, ia selalu mengajak anaknya untuk hadir ke gereja sejak masih bayi dan batita. Hingga ia harus membawa tas berukuran besar untuk membawa berbagai keperluan anaknya selama beribadah di gereja, ia pun tidak peduli dengan omongan orang lain atas kebiasaannya tersebut. Perbedaan-perbedaan dalam hal ibadah ini beberapa kali menimbulkan cekcok dalam keluarga kecilnya, dengan munculnya pertanyaan “kok masih sholat” dan pertanyaan serupa mengenai perbedaan ibadah kedua agama tersebut. Alhamdulillah istri mas Tyo tetap bersabar menghadapinya dan tetap teguh menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslimah hingga akhirnya Mas tyo berada bersama kita saat ini.
Bagi Mas Tyo kesan dalam membangun rumah tangga yang hanya didasarkan oleh cinta semata tanpa adanya persamaan agama, akidah, dan tujuan dalam hidup sangatlah tidak enak dan berat, karena dalam satu kapal tidaklah mungkin ada dua nahkoda. Terutama dalam hal mendidikan anak baik pendidikan agama ataupun pendidikan umum lainnya cenderung berada pada peran seorang ibu karena secara waktu anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu bersama ibu daripada bersama bapaknya. Hal ini menjadi beban tersendiri bagi Mas Tyo karena pada saat yang sama ia harus bekerja sekaligus memikirkan tumbuh kembang keimanan anak-anaknya seorang diri, di mana saat itu ia masih berprinsip anak-anaknya harus mengikuti agama yang dianutnya yaitu Katolik. Meskipun hal tersebut selalu menjadi penyulut percekcokan ia dengan sang istri karena sang istri berharap ada salah satu anak mereka yang mengikuti ia menjadi seorang muslim.
Di lingkungan kerjanya, ia memiliki seorang senior yang sudah haji, yang menjadi saksi kegundahan dan kegoyahan iman Mas Tyo kala itu terhadap agama Katolik, terutama atas pertanyaannya mengenai Konsep Trinitas. Meskipun kala itu berbeda agama dengan Mas Tyo namun beliau tidak pernah menutup diri kepadanya dan tetap menerima setiap pertanyaan Mas Tyo kala itu. Temannya ini lah yang kelak mengenalkan ia kepada HSI AbdullahRoy.
Hingga di satu titik Mas Tyo masih belum menemukan jawaban atas pertanyaannya mengenai Konsep Trinitas, ia pun mencoba mengobrol dengan orang-orang yang bisa ia percaya. Hingga tiba suatu sore seusai istrinya melaksanakan sholat Ashar, ia mencoba membuka Al-Quran terjemah milik istrinya untuk mencari tentang konsep keesaan dalam Islam. Ia pun membaca terjemah dari sebuah ayat dalam surat An-Nisa di mana ia menemukan kunci perbedaan antara kepercayaan Katolik dengan Islam mengenai Keesaan.
Di dalam Katolik dipercayai bahwa Roh Tuhan yang dihembuskan kemudian menjelma menjadi manusia. Mereka mempercayai bahwa roh yang dihembuskan adalah roh tuhannya itu sendiri.
Sedangkan di dalam Islam (saat Allah menciptakan Nabi Isa) yang dihembuskan oleh Allah hanyalah roh (bukan roh milik tuhannya sendiri) melalui perantara malaikat Jibril, yang kemudian Allah mengizinkan Maryam mengandung tanpa ada proses pembuahan.
Itulah jawaban atas pertanyaannya yang selama 17 tahun dicarinya.
Seketika itu juga, ia meminta sang istri untuk menghubungi ustadz di lingkungan sekitar rumah dan berkata bahwa ia ingin menjadi seorang muslim. Mendengar permintaannya itu sang istri pun menangis terharu. Ba’da maghrib di hari yang sama ia dan istrinya pun menyambangi kediaman ustadz terdekat untuk mendapatkan penjelasan yang lebih detil mengenai jawaban tersebut. Proses pembacaan syahadat dengan ustadz tersebut baru dilakukan satu pekan kemudian dikarenakan terdapat beberapa kendala. Ketika ia menceritakan kepada teman kantornya bahwa ia mantap ingin memeluk agama Islam, ia pun mengucapkan syahadat di hadapan temannya itu karena khawatir akan takdir umur yang hanya Allah saja yang mengetahui. Sehingga ia melakukan syahadat dua kali, dengan temannya dan dengan ustadz untuk mendapatkan legalitas.
Saat ia menjadi muallaf, anak-anaknya masih berumur batita yakni anak pertama dua tahun dan anak kedua sekitar 3-6 bulan. Dia yang sebelumnya pasti memarahi anak jika masuk rumah mengucapkan “Assalamu’alaikum” seketika itu luluh hanya karena membaca terjemah dari salah satu surat di dalam AlQur’an
Keluarga yang dikabarkan terlebih dahulu atas hijrahnya ia menjadi seorang muslim adalah keluarga sang istri. Ia harus menyembunyikan ke-Islam-annya sekitar dua hingga tiga bulan dari keluarga besarnya sendiri karena ada beberapa hal yg harus dijaga krn adanya bbrp penyakit terutama kepada ibu. Butuh proses dan waktu untuk menjelaskannya saat itu. Sebelum ia menceritakan langsung kepada orang tuanya bahwa ia telah berpindah ke agama Islam, orang tuanya sudah mengetahui terlebih dahulu dari orang lain, sehingga ketika ia kembali berkunjung ke kediaman orang tuanya di Surabaya ia langsung melakukan konfirmasi bahwa info yang didapat oleh orang tuanya tersebut adalah benar. Ketika ia sampai di Surabaya ibunya hanya mendiamkannya. Meskipun sudah tidak seperti dulu lagi namun ia tetap berusaha untuk menjaga hubungan baik dengan orang tua karena walaupun orang tua kita berbeda agama dengan kita namun kita harus tetap menjaga birrul walidain dengan orang tua kita.
Setelah masuk islam ia merasakan lega dan ketenangan yang luar biasa karena apapun pertanyaan yg muncul pasti ada jawabannya, dan hal itu juga menjadi bekal untuk mengajarkan agama kepada anak-anaknya. Dan sekarang ia sudah bisa membagi tugas pendidikan dan tumbuh kembang anak dengan sang istri karena sudah berada di satu perahu dengan tujuan yang sama.
Setelah bersyahadat hal yang paling pertama dilakukan oleh Mas Tyo adalah belajar membaca AlQur’an, kemudian mencari literasi yang sekira bisa menjawabnya jika kelak mendapat pertanyaan dari keluarga besarnya, kemudian ia dikenalkan dengan pembelajaran online HSI oleh teman kantornya dan ia pun segera mendaftar dan menjadi peserta HSI. Bagi mas Tyo pembelajaran di HSI sangat membantunya dalam mempelajari dan memahami agama Islam lebih mendalam. Dia merasa bahwa HSI merupakan tempat yang cocok baginya untuk menimba ilmu. Karena saat itu ia sangat membutuhkan ilmu dasar mengenai agama Islam dan HSI memberikan materi yang sangat mendasar dalam agama Islam yang mana sangat ia butuhkan saat itu, dan struktur silsilah pada materi di HSI sangat teratur dan sesuai dengan tahapan bobot dari masing-masing silsilah. Meskipun di awal mengikuti HSI, mendapatkan admin yang sering mereminder untuk membaca materi dan mengerjakan ujian Mas Tyo tidak merasa keberatan karena hal tersebut sudah disepakati di awal sebelum KBM online dimulai bahkan menurutnya menjadi suatu kewajiban bagi peserta untuk melaksanakannya. Menurutnya silsilah yang paling mengena di hatinya adalah silsilah “Beriman Kepada Hari Akhir”.
Pada awalnya sang istri berafiliasi dengan salah satu organisasi atau kelompok agama Islam di Indonesia, namun seiring berjalannya waktu dengan bertambahnya ilmu pula sedikit demi sedikit ia memasukkan pemahaman salaf kepada sang istri. Menurutnya dengan proses muallafnya ia, memunculkan PR baru lagi dalam keluarganya karena selain ia harus terus menuntut ilmu dari awal, ia juga mengemban tugas untuk mendidik, mendakwahi, dan mengarahkan keluarganya kepada manhaj yang haq ini.
Mendiang bapak Mas Tyo sebelumnya sudah kurang lebih lima bulan sakit dan butuh beberapa kali operasi namun hanya ditemani berdua dengan ibu karena semua anak-anaknya telah merantau, hingga akhirnya Mas tyo menawarkan untuk dirawat di rumah Mas Tyo, bapak rahimahullah mau dan ibu mengizinkan. Alhamdulillah di saat-saat terakhirnya, tanpa ajakan dan bujuk rayu dari Mas Tyo, bapak rahimahullah meminta untuk mengucapkan syahadat kembali dan dituntun sholat karena kondisi bapak rahimahullah saat itu sudah hanya bisa berbaring.
Seiring berjalannya waktu ia pun ikut terlibat aktif dalam kepengurusan HSI Peduli (HSIP), berawal dari sekretaris dan sekarang membantu fundrising HSIP (mulai setelah Idul Adha 1441H). Salah satu hal yang paling berkesan saat aktif dalam HSIP adalah saat melaksanakan ‘Program Jaring Pengamanan Sosial’, di mana kegiatan ini membantu orang2 yg terdampak covid 19. Pada saat itu, ada seorang ibu yg sudah mencapai batas akhir waktu pembayaran LKS anaknya. Di hari itu, sang ibu sudah bersiap untuk pergi ke pasar untuk menjual emas yg dimilikinya. Sebelumnya memang sudah diinfokan akan mendapatkan bantuan dari HSIP, namun karena waktu sudah mepet ia pun terpaksa mengambil keputusan berat tersebut. Qadarullah Tim HSIP dating di waktu yang tepat sebelum ibu itu pergi menjual emasnya.
Harapan untuk HSIP, semoga semakin dipercaya dr internal maupun eks, semakin banyak yg bisa dibantu, programnya bisa berhasil, dan bisa bermanfaat untuk lebih banyak orang lagi.
Berada di keluarga besar HSI AbdullahRoy menurutnya nyaman karena berada di sekitar orang-orang yang baik, sholeh, setidaknya bisa menjadi rem dan juga untuk teman sharing beberapa permasalahan. Baginya HSI juga menjadi keluarga besar, apapun permasalahan bisa kita ceritakan bersama. Yg pertama diajak adalah keluarga kemudian kolega di kantor, bahkan ada yang menjadi peserta di grup yang ia dimusyrifkan sekarang.
Strategi yang dilakukannya dalam mengatur waktu antara menuntut ilmu, mengurus HSI, mengurus keluarga, dan bekerja yakni ia secara prinsip keluarga adalah yang utama baginya. Untuk dapat menyesuaikan dengan kepentingan yang lain hal yang perlu dilakukan adalah pandai-pandai mengasahkan kemampuan dalam mengkotak-kotakkan waktu. Seperti di HSI ada waktu-waktu tertentu yang harus didahulukan seperti waktu pembukaan evaluasi, penutupan evaluasi, reminder, dan sebagainya maka saat itu focus dulu untuk HSI KBM jika sudah maka kembali ke hal yang lainnya ke keluarga ataupun pekerjaan.
Harapan untuk keluarga besar, hanya bisa berharap agar Allah melunakkan hati beliau dan memberikan hidayah kepada beliau. Ada keinginan untuk bisa kembali seperti kondisi dahulu namun untuk saat ini masih sulit diwujudkan, hanya bisa berharap semoga Allah memudahkan semuanya.
Pesan untuk teman-teman yang masih mencari kebenaran, jika sudah menemukan suatu kejanggalan ataupun pertanyaan mengganjal di batin, yang mengganggu dan bisa membuat hati menjadi goyah jangan mencari pembenaran terlebih dahulu. Kosongkan gelas dan cari lah ilmu di luar, siapkan diri untuk bisa menerima apapun yang ada di luar baik itu hal yang kita rasa baik ataupun tidak baik untuk kita dengar.
Pesannya untuk sesama muslim yang sedang jauh dari agama, tetap terbuka karena hal diajarkan secara turun menurun susah untuk diubah, buka diri dan pikiran selebar mungkin jangan menutup diri untuk hal-hal yang menurut mereka baru. Buka lembaran baru, hindari perdebatan dengan mengkosongkan gelas terlebih dahulu. Jangan tertutup pada hal baru dengan alasan atas nama kultur.